Yogyakarta – Dalam kerangka mendapatkan pemahaman yang komprehensif terkait dengan terbitnya Permenristekdikti No. 20 Tahun 2017 tentang Pemberian Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor, Universitas Gadjah Mada mengundang Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek DIKTI Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia, Prof. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., Ph.D. untuk menyampaikan paparan dan diskusi. Kegiatan diselenggarakan di Balai Senat Universitas Gadjah Mada pada hari Sabtu, 11 Februari 2017. Kegiatan diikuti oleh Majelis Wali Amanat, Dewan Guru Besar, Senat akademik, Pimpinan Universitas dan Fakultas di lingkungan Universitas Gadjah Mada.
“Hari-hari ini, di grup dosen dan asosiasi dosen tidak ada yang lebih menarik daripada diskusi tentang Permenristekdikti No. 20 Tahun 2017 tentang tunjangan Profesi Dosen dan tunjangan kehormatan Profesor.” ungkap Prof. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., Ph.D. mengawali paparannya.
Prof. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., Ph.D. menyampaikan bahwa Permenristekdikti No. 20 Tahun 2017 tentang Pemberian Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor ini disusun dalam rangka mendorong produktivitas dosen. Berbagai reaksi muncul terhadap keluarnya Permenristekdikti No. 20 Tahun 2017 ini. Banyak multi interpretasi yang muncul, keresahan, kegelisahan dan kekhawatiran. Salah satunya prasangka bahwa ketika tidak memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan, maka gelar profesornya akan dicabut.
Dalam papaparannya Prof. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., Ph.D. menyampaikan bahwa fungsi pokok dosen dan juga profesor selain pengajaran juga pada pengembangan keilmuan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Profesor merupakan academic leader. Oleh karena itu, dengan terbitnya Permenristekdikti Nomor 20 tahun 2017 ingin menegaskan kembali bahwa kewajiban profesor dan dosen adalah melaksanakan tridharma perguruan tinggi, menghasilkan karya ilmiah dan mereproduksi pengetahuan. Jika diperbandingkan antara jumlah dosen di seluruh Indonesia dengan jumlah publikasi per tahun, terlihat jelas bahwa produktivitas dosen di Indonesia masih kurang.
Salah satu kritik yang muncul ketika Kemenristekdikti mengundang para profesor Indonesia yang bekerja di luar negeri adalah bahwa profesor di Indonesia lebih banyak mengajar dan jarang meneliti, publikasi, atau menghasilkan suatu inovasi. Padahal idealnya semakin tinggi jabatan akademik, penelitiannya juga semakin tinggi.
“Setelah orang menjadi profesor produktivitas dosen turun drastis, karena pada umumnya setelah menjadi profesor mereka menduduki jabatan struktural. Menurut hasil survei, 53 persen dari seluruh dosen di Indonesia menduduki jabatan struktural. Kami ingin potensi bangsa utamanya dosen diharap kembali pada tugas pokok dan fungsi sebagai dosen, sebagai academic leader. Peraturan ini bagus karena mendorong dosen untuk menulis, tidak hanya mengajar saja. Selama ini mengajar berkorelasi positif dengan pendapatan sehingga orang berlomba-lomba untuk mengajar.” lanjut Prof. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., Ph.D
Acara dilanjutkan dengan pencermatan pasal-pasal dalam Permenristekdikti No. 20 Tahun 2017. Dalam pasal 3 Permenristekdikti No. 20 Tahun 2017 disebutkan bahwa tunjangan profesi diberikan kepada dosen yang memiliki sertifikat pendidik, melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi dengan beban paling sedikit 12 SKS dan paling banyak 16 SKS, tidak terikat sebagai tenaga tetap pada lembaga lain di luar perguruan tinggi tempat yang bersangkutan bertugas, memiliki Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN), dan berusia paling tinggi 70 (tujuh puluh) tahun untuk Profesor dan 65 (enam puluh lima) tahun untuk Lektor Kepala, Lektor dan Asisten Ahli.
Pada prinsipnya tunjangan profesi diberikan kepada dosen apabila memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan dan memiliki sertifikat pendidik. Sertifikasi dosen adalah sebagai bukti bahwa seorang dosen itu profesional. Dosen mendapatkan tunjangan profesi karena profesional. Persoalannya baru sekitar 46 persen dari seluruh dosen di Indonesia yang memiliki sertifikat dosen.
Selanjutnya, dosen yang mendapat penugasan sebagai pimpinan perguruan tinggi yang bersangkutan sampai dengan tingkat jurusan atau yang sejenis, memperoleh tunjangan profesi sepanjang yang bersangkutan melaksanakan tridharma pendidikan dengan jumlah beban SKS sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Dalam pasal 4 disebutkan bahwa untuk Lektor Kepala harus menghasilkan paling sedikit 3 karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal nasional terakreditasi atau paling sedikit 1 karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun. Saat ini Kementerian tengah mendorong tumbuhnya jurnal terakreditasi nasional. Selain itu ada pemikiran bahwa jurnal yang terakreditasi LIPI akan diakui, namun masih dalam proses untuk mereview dan memeriksa kembali kesetaraannya dengan akreditasi DIKTI.
Pasal 5 menyebutkan bahwa Tunjangan profesi bagi dosen dihentikan sementara apabila menduduki jabatan struktural, diangkat sebagai pejabat Negara, tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam pasal 3 dan 4, khusus bagi lektor kepala.
Terkait dengan pasal 5, yang menyatakan bahwa “Tunjangan profesi bagi dosen dihentikan sementara apabila menduduki jabatan struktural, diangkat sebagai pejabat Negara, tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam pasal 3 dan 4, khusus bagi lektor kepala” memunculkan pertanyaan bagaimana dengan pimpinan universitas dan fakultas di lingkungan Universitas Gadjah Mada, apakah termasuk pada nomenklatur “jabatan struktural” sehingga tunjangan profesi nya harus dihentikan sementara?
Menjawab pertanyaan ini, Prof. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., Ph.D. dan Wakil Rektor Bidang SDM dan Aset UGM, Prof. Dr. Ir. Budi Santoso Wignyosukarto, Dip. HE menyatakan bahwa jabatan struktural di UGM merupakan tugas tambahan, sehingga tidak berimplikasi pada penghentian tunjangan profesi bagi dosen/tunjangan kehormatan bagi Profesor.
Pasal 6 menyebutkan bahwa tunjangan profesi bagi dosen dihentikan apabila meninggal dunia, mencapai batas usia pensiun (BUP), mengundurkan diri, diberhentikan dari jabatan akademik, atau tidak lagi memiliki NIDN.
Selanjutnya dalam Pasal 7 disebutkan tunjangan profesi dosen dibatalkan apabila memalsukan data dan dokumen yang dipersyaratkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, sertifikat pendidik dibatalkan, dan/atau melakukan plagiat.
Pertanyaan lain yang sering muncul adalah “Apakah seorang lektor kepala atau profesor harus menjadi penulis pertama? Pertanyaan ini mendapat jawaban bahwa jika digunakan sebagai persyaratan untuk menjadi profesor maka harus sebagai penulis pertama, namun untuk persyaratan mendapatkan tunjangan profesi dosen dipermudah menjadi penulis utama. Penulis utama artinya bisa sebagai penulis pertama, bisa juga sebagai correspondent author. Akan tetapi dosen hanya dapat memilih salah satu saja. Ketika seseorang menulis dalam sebuah jurnal untuk mengajukan profesor, apabila sudah digunakan sebagai corresponding author, artinya ia tidak dapat menggunakannya sebagai penulis pertama. Akan tetapi kalau sekedar untuk penghitungan credit point (kum) tidak masalah menggunakan keduanya. Khusus untuk evaluasi kinerja, lektor kepala dan profesor tidak harus sebagai penulis pertama.
“Artinya sepanjang profesor ini masih membimbing, kemudian mahasiswanya diarahkan untuk menulis dan yang dosen bersangkutan namanya ada disitu, sudah selesai. Jadi ini tidak sulit artinya profesor ini masih berfungsi dan menjalankan tugas pokok utamanya sebagai profesor. Karena beberapa dosen, yang setelah menjadi profesor kegiatan akademiknya berkurang banyak.” lanjut beliau.
Terkait dengan proses dari dosen menjadi profesor, Kemenristekdikti telah membuat beberapa terobosan. Pertama, dosen-dosen dari kementerian lain yang selama 10 tahun terakhir tidak diakui oleh Kemendikbud sehingga tidak bisa menjadi profesor, diberikan terobosan dengan NIDK sehingga diakui jabatannya dan bisa menjadi profesor. Kedua, dari sisi birokrasi, lama waktu pengurusan administrasi untuk menjadi profesor yang sebelumnya membutuhkan waktu 2 sampai dengan 5 tahun, saat ini hanya membutuhkan waktu kurang lebih selama 2 bulan. Sehingga sekarang ini Profesor banyak. Banyak yang berlomba-lomba menjadi profesor. Ketiga, untuk menuju profesor semakin sedikit tangga (jenjang)nya, yaitu Asisten Ahli, Lektor dan Lektor Kepala.
Beberapa skema yang diberikan untuk mendorong dosen agar menulis lebih bagus lagi, Kemenristekdikti telah memiliki program “Visiting World Class Professor“. Visiting World Class Professor ini mengemban tugas untuk membantu analisis, publikasi di jurnal internasional bereputasi, menjadikan jurnal nasional menjadi jurnal internasional dengan mengajak koleganya menjadi reviewer jurnal, membuat proposal untuk menggaet international resources.
Terkait dengan keterbatasan jumlah jurnal nasional terakreditasi, Kemenristekdikti akan terus melakukan akreditasi dan akan menyediakan anggaran untuk membuat jurnal. Kedua, melalui program Visiting World Class Professor diharapkan dapat membuat jurnal nasional menjadi jurnal internasional. Ketiga, dalam proses review untuk mengakui akreditasi yang dilakukan LIPI. Keempat, Kemenristekdikti mengembangkan indeks sendiri yaitu SINTA (Science and Technology Index) sehingga index jurnal tidak hanya mengacu pada Scopus.
Selanjutnya dijelaskan bahwa terkait dengan buku, tidak terdapat ketentuan apakah harus diterbitkan penerbit atau percetakan. Hal yang paling penting adalah buku tersebut mempunyai ISBN.
Kegiatan dilanjutkan dengan diskusi. Dalam diskusi banyak pertanyaan dan masukan yang muncul, seperti kesiapan Kemenristekdikti untuk menyiapkan jurnal nasional terakreditasi, karena saat ini jumlah jurnal nasional terakreditasi ini jumlahnya terbatas. Selain itu, peluang untuk masuk dalam jurnal terakreditasi di Indonesia sangat sulit, dan jauh lebih sulit dibandingkan jurnal internasional sehingga perlu dipertimbangkan kembali kesetaraannya.
Masukan selanjutnya terkait dengan waktu evaluasi terhadap profesor yang akan dimulai pada November 2017, diusulkan untuk dievaluasi pada bulan November 2018 sesuai dengan Permendikbud Nomor 78 tahun 2013 yang menetapkan jangka waktu evaluasi dilaksanakan 5 tahun.
Menutup paparannya, Prof. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., Ph.D. menjelaskan bahwa keluarnya peraturan ini tujuannya bukan hanya supaya Indonesia dikenal di seluruh dunia. Akan tetapi tujuan yang paling utama dari Permenristekdikti Nomor 20 tahun 2017 ini adalah bahwa potensi dosen di seluruh Indonesia yang luar biasa banyak ini kemudian diharapkan dapat menghasilkan berbagai inovasi yang bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa.
Hingga saat ini Kemenristek masih menyusun petunjuk teknis pelaksanaan Permenristekdikti No. 20 tahun 2017, dan untuk itu Kemenristekdikti menunggu masukan dari berbagai pihak.
“Kami menunggu masukan yang memungkinkan bahwa ini tidak menjadikan beban bagi dosen, akan tetapi sebagai sebuah upaya agar lektor kepala akan lebih banyak menulis dan profesor juga akan semakin produktif lagi.” lanjut beliau.
Dialog ditutup dengan kesimpulan yang disampaikan oleh Rektor Universitas Gadjah Mada, Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D. Dalam penutupnya Rektor menyampaikan bahwa sosialisasi ini telah memberikan informasi yang jelas atas Peraturan Menteri Nomor 20 Tahun 2017.
“Banyak multi interpretasi tentang Peraturan Menteri Nomor 20 Tahun 2017, akan tetapi sudah diluruskan hari ini. Kedua, Kemenristekdikti menunggu masukan dalam penyusunan petunjuk teknis Peraturan Menteri Nomor 20 tahun 2017, sehingga dapat dikoordinasikan agar dapat menjadi masukan dalam penyusunan petunjuk teknis Peraturan Menteri Nomor 20 tahun 2017. Selain untuk meluruskan multi interpretasi, juga bagaimana UGM bisa mewarnai, berkontribusi dan memberikan solusi terhadap persoalan-persoalan tadi.” ungkap Rektor menutup kegiatan.
Menanggapi permintaan Kemenristekdikti untuk mendapatkan masukan terkait penyusunan petunjuk teknis Permenristekdikti Nomor 20 Tahun 2017, Universitas Gadjah Mada di bawah koordinasi Ketua Senat Akademik akan segera menyampaikan masukan usulan terkait dengan penyusunan petunjuk teknis Permenristekdikti Nomor 20 Tahun 2017. (DSDM/Rima; Foto: Humas UGM)
Materi sosialisasi ini dapat diunduh pada laman berikut.